File 06 - Pasien Epilepsi dan Hiperplasia Gingiva

      Seorang pasien perempuan berusia 33 tahun datang ke klinik gigi dan mulut dengan keluhan hampir seluruh gusinya membengkak. Dari anamnesis diketahui pasien menderita epilepsi sejak berumur 6 tahun. Sejak 18 bulan yang lalu pasien mengonsumsi obat fenobarbital 60 mg per oral 3x sehari dan fenitoin (dilantin) per oral 100 mg 3x sehari secara terus-menerus sehingga jarang mengalami serangan. Pemeriksaan ekstra oral tidak terdapat kelainan sedangkan pada pemeriksaan intra oral ditemukan hiperplasia gingiva pada bagian anterior dan posterior. OHIS pasien sedang.

PENDAHULUAN
     Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitan ini biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan EEG (abnormal dan eksesif) Bangkitnya epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening, dan menguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menerobos membran neuron. 1
     Epilepsi yang sukar untuk mengendalikan secara medis atau pharmacoresistant , sebab mayoritas pasien dengan epilepsi adalah bersifat menentang, kebanyakan yang sering terserang terlebih dahulu yaitu bagian kepala. Obat yang bisa menenangkan antiepileptik yang standar. Berkaitan dengan biomolekular basis kompleksnya. Sakit kepala yang menyerang sukar sekali untuk diperlakukan secara pharmakologis, walaupun obat antiepileptic sudah secara optimal diberikan,sekitar 30-40% tentang penderita epilepsi yang terjangkit, biasanya pasien melakukan operasi pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit sementara. Akan tetapi gejala epilepsi akan timbul sesekali, karena epilepsi sukar untuk dihilangkan rasa sakit kepala yang menyerang. 1
     Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun sudah lepas dari narkotik. 1 
     Faktor etiologi dari epilepsi yang utama adalah idiopatik. Namun dapat juga diakibatkan oleh kelainan pendahulu (simptomatik) yaitu kelainan intra kranial dan kelainan ekstra kranial. Kelainan intra kranial dapat berupa tumor, kelainan vaskuler, trauma, infeksi, keongnital dan herediter. Kelainan ekstra kranial dapat berupa anoxia, hipoglikemia, gangguan elektrolit, gangguan metabolik, obat-obatan, dan uremia. 1
     Penderita epilepsi terkadang dapat berkunjung ke praktek dokter gigi untuk melakukan perawatan pada rongga mulutnya. Dokter gigi harus dapat mengetahui mengenai jenis epilepsi dan manifestasi oral, dapat menangani pasien epilepsi sehingga perawatan terhadap rongga mulutnya terlaksana dengan baik, serta memilki pengetahuan apabila terjadi bangkitan saat perawatan dilakukan. Oleh karena itu, melalui kasus dibawah ini, akan dibahas mengenai epilepsi, manifestasi epilepsi pada intraoral, penanggulangan manifestasi, serta penatalaksanaan dental baik pertimbangan perawatan maupun penanggulangan terhadap bangkitan. 1

GEJALA KLINIS DAN PERAWATAN EPILEPSI
     Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu fokus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptik yang sensitif terhadap rangsang. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi. 2
      Letupan depolarisasi dapat terjadi di daerah korteks. Penjalaran yang terbatas di daerah korteks akan menimbulkan bangkitan parsial. Letupan depolarisasi dapat menjalar ke area yang lebih luas dan menimbulkan bangkitan umum (generalized epilepsy). Letupan depolarisasi di luar korteks motorik yaitu di korteks sensorik, pusat subkortikal, menimbulkan gejala aura prakonvulsi antara lain adanya peruabahan penciuman, gangguan paroksismal terhdap kesadaran. Selanjutnya penjalaran ke daerah korteks motorik menyebabkan konvulsi. 2
Gejala klinis dari epilepsi dapat ditentukan berdasarkan jenis bangkitannya, yaitu sebagai berikut :
A. Epilepsi Partial
    1. Epilepsi Partial Sederhana
  • Epilepsi dengan gejala motorik atau sensorik atau dengan panca indera (seperti halusinasi, perasaan seperti dijalari listrik atau melihat cahaya berkedip.
  • Epilepsi dengan gejala gangguan fungsi otonomik tubuh seperti wajah kemerahan, pucat, rasa tidak enak ulu hati, berkeringat.
  • Epilepsi dengan gejala psikis seperti ilusi, halusinasi, keadaan seperti bermimpi (dreamy state)
   2. Epilepsi Parsial Kompleks (dengan hilangnya kesadaran) : Pada awalnya berupa epilepsi parsial sederhana tetapi diikuti dengan hilangnya kesadaran. Sejak awal serangan epilepsi telah disertai hilangnya kesadaran.
    3. Epilepsi Umum Sekunder : Epilepsi parsial sederhana atau kompleks yang berkembang menjadi epilepsi umum. 2,3

B. Epilepsi Umum
  1. Absense / Lena / Petit Mal : Merupakan jenis yang jarang. Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh.
  2. Epilepsi Mioklonik : Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Jenis yang sama tapi non-epileptik bisa terjadi pada pasien normal 
  3. Epilepsi Klonik : Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
  4. Epilepsi Tonik : Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
  5. Epilepsi Atonik : Bangkitan ini jarang terjadi.  Biasanya pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot sehingga jatuh, tapi bisa segera recovered
  6. Epilepsi Tonik-Klonik / Grand Mal : Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya. 2,3
     Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian. 2,3

Perawatan Epilepsi dapat dibagi menjadi :
A. Non Farmakologis
  • Amati faktor pemicu
  • Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : stress, OR, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll. 2,3 
B. Farmakologi
Prinsip pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
  1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
  2. Terapi dimulai dengan monoterapi
  3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
  4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua. 2,3
Obat Anti Epilepsi (OAE) berdasarkan mekanisme kerjanya pada otak :
  1. Inhibisi kanal Na+ pada membran sel akson. Contoh : Phenytoin dan Carbamazepin (dosis terapi), Phenobarbital dan asam valproat (dosis tinggi), Lamotrigin, Topiramat, Zonisiamid.
  2. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus. Contoh : Etoksuksimid, Asam Valproat, Clonazepam
  3. Penurunan Eksitasi Glutamat : a). Blok Reseptor NMDA : Lamotrigin, b). Blok Reseptor AMPA : Phenobarbital, Topiramat
  4. Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik : a). Agonis reseptor GABA -> Meningkatkan transmisi inhibitor dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA. Contoh : Benzodiazepin, Barbiturat, b). Menghambat GABA Transaminase -> Konsentrasi GABA meningkat. contoh : Vigabatrin, c). Menghambat GABA transporter -> memperlama aksi GABA. Contoh : Tiagabin, d). Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal dengan menstimulasi pelepasan GABA dan non-vesikular pool. Contoh : Gabapentin. 2,3
PROSEDUR DIAGNOSIS KASUS
1.   Anamnesis
     Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
  • Pola / bentuk serangan
  • Lama serangan 
  • Gejala sebelum, selama dan paska serangan 
  • Frekwensi serangan 
  • Faktor pencetus 
  • Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang 
  • Usia saat serangan terjadinya pertama 
  • Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan bayi/anak
  • Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya 
  • Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 3
2.   Pemeriksaan Intra Oral
      Pemeriksaan ini mencakup pemeriksaan terhadap manifestasi klinis rongga mulut seperti Hiperplasia gingiva (drug-induced) pada bagian Anterior maxilla dan mandibula (plng sering), traumatic injuries (gigi patah, luka pada lidah, lips scar pd general tonic-clonic seizure), stomatitis, Erythema multiform, steven-johnson syndrome -> drug induced.
Pada kasus : Hiperplasia gingiva daerah anterior & posterior, OHIS sedang 3

3.  Pemeriksaan Ekstra Oral
     Pemeriksaan ini mencakup pemeriksaan manifestasi klinis ekstra oral, misal skin rash pada penderita eritema multriform akibat penggunaan obat (fenobarbital).
Pada kasus : tidak ditemukan kelainan 3


DIAGNOSA DAN FAKTOR PENYEBAB
     Berdasarkan kasus di atas, diagnosa pada rongga mulut adalah berupa hiperplasia gingiva yang dimodifikasi obat-obatan.4 Terdapat 3 kelompok obat yang dapat menginduksi terjadinya pembesaran gingiva yaitu :
  1. Obat dengan efek antikonvulsan -> Fenitoin  yang digunakan untuk pengobatan epilepsy
  2. Obat dengan efek imnosupresif -> Siklosporin yang digunakan untuk mencegah reaksi penolakan terhadap organ yang ditranplantasikan dan untuk pengobatan berbagai penyakit autoimmune
  3. Obat dengan efek penghambat kalsium (calcium blocker) -> Nifedipin yang digunakan untuk mendilatasikan arteri dan arteriol jantung, memperbaiki pasok oksigen ke otot-otot jantung,dan untuk menurunkan hipertensi dengan jalan mendilatasikan vaskulatur perifer. 4
     Pada kasus ini pembesaran gingiva yang terjadi adalah diakibatkan oleh pemakaian antikonvulsan yaitu Fenitoin. Lesi yang ditimbulkan dapat berupa pembesaran berbentuk manik-manik pada tepi gingival dan papilla interdental pada sisi vestibular dan oral. Bila lesi berkembang bertambah besar,pembesaran pada sisi vestibular dan oral bisa menyatu. Bisa juga lesinya berkembang membentuk massa jaringan yang menyelubungi sebagian besar mahkota gigi bahkan dapat menghalangi oklusi. Apabila belum terkomplikasi inflamasi, lesi berbentuk seperti buah murbei, padat, warna merah jambu pucat, lenting, permukaannya berlobul-lobul halus, dan tidak ada kecenderungan pendarahan gingiva. Pembesarannya terlihat menjulur dari bawah tepi gingival dan dipisahkan dari tepi gingival oleh suatu alur. 4
     Hiperplasia yang diinduksi obat-obatan ini bisa terjadi pada mulut yang bebas iritan lokal dan bisa tidak terjadi pada mulut dimana iritan lokal banyak menumpuk. Distribusinya biasanya generalisata pada seluruh mulut, tetapi yang lebih parah adalah pada regio anterior maksila dan mandibula. Lesi ini terjadi pada daerah bergigi bukan pada ruang edentoulus, serta lesi yang ada akan hilang apabila giginya dicabut. Hiperplasia ini berkembang secara lambat. Bila disingkirkan secara bedah, lesi akan kambuh selama obat yang menginduksinya masih digunakan. Lesi bisa hilang secara spontan dalam beberapa bulan setelah pemakaian obat dihentikan. 4
     Pembesaran yang terjadi menyebabkan pelaksanaan control plak menjadi sukar dengan akibat timbulnya proses inflamasi sekunder sebagai komplikasi dari overgrowth yang diinduksi obat-obatan. Dalam hal ini penting untuk dapat membedakan antara pertambahan besar gingival yang diinduksi obat-obatan dengan komplikasi inflamasi yang disebabkan oleh bakteri. Perubahan inflamasi sekunder menambah besar lesi yang dinduksi obat-obatan sehingga menimbulkan perubahan warna menjadi merah atau merah kebiruan, menghilangkan batas lobus-lobus lesi, dan meningkatnya kecenderungan pendarahan gingiva. 4

PATOGENESIS HIPERPLASIA GINGIVA
Terjadinya pertambahan besar gingival yang diinduksi oleh obat-obatan ini tidak terlepas dari pengaruh faktor genetik sehingga hanya pada individu tertentu saja bisa terinduksi hiperplasia. Para pakar menghipotesakan bahwa terjadinya pertambahan besar gingival tersebut adalah karena obat atau metabolisme obat yang menyebabkan :
  1. Peningkatan sintesa/produksi kolagen oleh fibroblast gingival.
  2. Pengurangan degradasi kolagen akibat diproduksinya enzim kolagenase yang inaktif.
  3. Pertambahan matriks non-kolagen, sebagai contoh glikosaminoglikans dan proteoglikans dalam jumlah yang lebih banyak dari matriks kolagen. 4
PERTIMBANGAN PERAWATAN DENTAL PADA PASIEN EPILEPSI
     Evaluasi lengkap sebelum perawatan dental sangat penting untuk menetapkan stabilitas dan tempat yang sesuai untuk perawatan, antara lain sebagai berikut :
  • Memeriksa tipe, etiologi, frekuensi, trigger aktifitas seizure yg diketahui, adanya aura sebelum seizure, riwayat injuri yg berhubungan dg aktifitas seizure.
  • Seizure yang parah dan tidak berespons dg obat antikonvulsan, konsultasi kedokternya. 
  • Harus mengerti adanya komplikasi obat antikonvulsan yang dapat menjadi masalah pada saat perawatan dental.
  • Obat terakhir yang digunakan pasien, lama terapi, terutama fenitoin. 
  • Pasien dengan terapi yang jarang mengalami serangan, mengalami serangan lebih dari 1 serangan per bulan à kontrol buruk, perawatan dental kontra indikasi. 
  • Gangguan seizure buruk dan tidak terkontrol à konsultasi ke dokternya atau neurologist à perawatan dental di rumah sakit, perawatan elektif ditunda. 
  • Pasien yang tidak terkontrol  sering terlihat tanda trauma intra oral. 
  • Menghindari trigger yg diketahui pada waktu pemeliharaan  dan perawatan gigi. 
  • Pasien dengan seizure buruk dan akibat stress  membutuhkan sedative sebelum perawatan dental. 5
PENANGGULANGAN KASUS RONGGA MULUT
     Dari kasus dirongga mulut pasien, ditemukan adanya Hyperplasia Gingiva. Maka yang pertama sekali dilakukan adalah :
1. Kunjungan Pertama (Fase I)
  • Dokter gigi mengkonsultasikan ke dokter sebelumnya dan memberitahukan bahwa obat tersebut merupakan faktor penyebab hyperplasia gingiva pada pasien.
  • Penskeleran supragingiva karena gingiva yang bengkak. 
  • Kontrol plak pasien diajarkan cara pembersihan gigi dengan dental floss, rubber tip dan alat untuk interproksimal.
  • Pasien dikonsultasi ke dokter ahlinya untuk menggantikan obat anti epilepsinya.
2. Kunjungan Kedua (Fase II) -> Evaluasi Fase I : Kondisi gingiva dan plak
  • Sekiranya kondisinya baik dan sudah terkontrol maka dapat dilakukan penskeleran subgingiva.
  • Kontrol plak.
3. Kunjungan Ketiga (Fase III / Fase Bedah)
  • Dilakukan sekiranya kontur dan tektur gingiva tidak dapat kembali ke normal di mana bagi hiperplasia gingiva yang belum terlalu parah dilakukan gingivektomi dan bagi hiperplasia gingiva yang sudah parah dilakukan bedah flep modifikasi.
4. Kunjungan Keempat (Fase IV)
  • Kunjungan berkala, evaluasi plak dan kalkulus dan kondisi gingival. 4,5
FAKTOR PEMICU BANGKITAN SAAT PERAWATAN SERTA PENANGGULANGANNYA
     Beberapa faktor yang dapat menyebabkan bangkitan saat terjadinya perawatan adalah pasien yang kurang tidur atau terlalu lelah, fotosensitif terhadap lampu, stress emosional, obat-obat tertentu, hipoglikemia. 6
Bila terjadi bangkitan saat dilakukannya perawatan, maka dapat dilakukan penanggulagan sebagai berikut :
  • Dokter gigi dan staff harus waspada dengan penderita ini
  • Melakukan kegiatan preventive seperti mengetahui riwayat pasien, menjadwalkan perawatan beberapa jam setelah minum obat antikonvulsan, mnggunkan mounth prop, melepas denture, dan menjelaskan pentingnya aura yg dirasakan pasien
  • Dokter gigi harus waspada dengan tanda-tanda mulai terjadinya bangkitan
  • Tidak boleh mngusahakan pasien untuk pindah ke lantai
  • Pasien diletakkan dengan posisi supine di dental chair dan jauh dari permukaan dan objek yg keras
  • Pasien dikendalikan dgn hati-hati tanpa paksaan
  • Selama seizure, posisi kepala harus benar untuk jalur masuk udara
  • Kebanyakan seizure berakhir 2-5 menit,diikuti dengan fase postictal, harus dimonitor karena pasien masih bingung 
  • Biasanya pasien kembali normal setelah 1 jam 
  • Pasien diserahkan ke org yang bertanggung jawab 
  • Bila terdapat kemungkinan komplikasi seperti aspirasi à rujuk ruang emergensi 
  • Bila terjadi aktifitas seizure yg persisten (lbh dari 5 menit) perlu bantuan medis segera -> penanganan emergensi ke rumah sakit -> diberikan obat antikonvulsan intravena. 5,6
DAFTAR PUSTAKA
  1. Benvie. Epilepsi. < http://doctorology.net/?p=17> (12 April 2011).
  2. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Gaya Baru, 2007.
  3. Kholilah. Referat Neurologi-Epilepsi. 
  4. Daliemunthe SH. Terapi Periodontal. 2nd ed. Medan, 2006.
  5. Little JW, Falace DA, Miller CS. Dental Management of the Medically Compromised Patient. 7th ed. Pensylvania: Mosby-Elsevier, 2007.
  6. Deskianditya RB. Epilepsi. < http://www.scribd.com/doc/29705045/EPILEPSI> (12 April 2011)